Senin,
15 Juli 2013 M/6 Ramadlan 1434H
Hari ini saya mendapat musibah. Tepatnya cobaan menjadi qismil
lughoh OSMYQ (sebelum namanya diganti menjadi kementerian). Tadi pada waktu
recess, Barok berbahasa Indonesia. Refleks telingaku langsung mengirim
sinyal untuk mencari pulpen dan kertas. Setelah ku dapat, aku langsung menulis
nama-nama yang melanggar bahasa pada hari ini, jadi tidak hanya Barok.
Tiba-tiba dari arah belakang, Barok mengintai yang sedang ku lakukan. “Wah, ghoiru
jiddan. Ana maktub.”selorohnya. Sontak dia ingin mengambil kertas kecilku
yang berisi daftar language tresspasser. Tapi gerakanku lebih cepat
darinya. Gagallah dia merebut kertasku.
Tidak sampai di situ saja, dia langsung mengambil tipe-x ku. Aku
tidak mau kalah, aku langsung merebutnya. Ketika aku hendak merebut, ia
menjorokkan bandannya ke depan seakan-akan akan menghantamku dengan bodi dan
tanganya yang super jumbo. Begitu aku tahu dia amat benci padaku dana amat ingin
memukulku, aku langsung mengambil inisiatif untuk melaporkan hal ini ke ust.
Shiddiq selaku guru BK. Kayaknya dia takut. Buktinya dia langsung menghadangku di
depan pintu kelas. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menyingkirkannya, tapi
usahaku tak berbuah ditambah ust. Nurul Huda selaku pengajar mata pelajaran
Biologi sudah datang. Aku urungkan niatku dan aku kembali ke tempat dudukku. Tapi
dadaku masih terasa panas bergelora. Aku merencanakan untuk keluar di
tengah-tengah pelajaran, tapi untuk izin apa ya? Aku bingung. Aku tidak ingin
berbohong, apalagi ini bulan Ramadlan di mana semua amal kebaikan
dilipatgandakan oleh Allah S. W. T. Sambil memerhatikan perkenalannya ust.
Nurul Huda sebagai ustadz baru yang menggantikan ustadz Said Arifatul Hakim
yang ditarik oleh sekolah lain sebagai kepala sekolah, aku terus memikirkan
izin keluarnya. Tiba-tiba di tengah pelajaran, dadaku dan hatiku terasa tenang
tanpa ada masalah apapun bak seember air panas yang dicelupkan 10 kg bongkahan
es. Akhirnya, ku urungkan niatku untuk izin keluar kelas dan mengadukan hal
tadi ke ust. Shiddiq.
Selain mendapat musibah, aku mendapat tantangan menjadi imam
tarawih sepondok di lapangan badminton. Walaupun sebelumnya saya telah menjadi
imam tarawih di kamar 5 kemarin, itu tidak membuat hatiku tenang. Jantungku
terasa berdegup kencang setelah adzan dan iqomat dikumandangkan. Sialnya, di
saat genting seperti ini aku malah kebelet kencing. Gawat. Akhirnya aku pasrah
saja dan berdoa semoga saya bisa menahannya sampai selesai nanti.
“Assalamu’alaikum warahmatullah, assalamu’alaikum warahmatulah.”
seruku lega. Fiuuuhhh. Akhirnya, tak ada hambatan berarti yang menghalangi langkahku.
Setelah menunaikan shalat witir satu rakaat, aku membaca doa witir yang
diberikan oleh Luckyta selaku koordinator departemen pengajaran dan diamini
oleh jama’ah. Rasanya hatiku lega banget, sumpah. Uniknya, setelah halaqoh
malam aku mendapatkan 3 jawaban berbeda dari 3 orang berbeda juga mengenai
kecepatan tarawihku. Fathil Kamil sebagai orang pertama menyatakan medium, disusul
Fajrul yang mengatakan lama, dan yang terakhir Ulum yang menjawab cepat. Unik
bukan? Walaupun saya bingung mana yang benar.
0 comments:
Post a Comment