Saturday, August 10, 2013

PERPINDAHAN KAMAR

3. PERPINDAHAN KAMAR

Ok next, perpindahan kamar untuk seluruh kelas dan setiap kamar terdapat beberapa kelas (campur). Fortunately, saya mendapat bagian kamar 2 yang mayoritas berpenghuni kelas 8 dan kelas 7 dengan rincian: Kelas 7 (sekarang kelas 8) 35%, kelas 8 (sekarang kelas 9) 55%, kelas 9 (sekarang kelas 10) 8%, dan kelas 10 (kini kelas 11) 2%. Uniknya, baru beberapa jam pindah kamar seorang adik kelasku memanggilku. ‘’Abyan, da’aka ustadz Manshur amaama baitihi. (Abyan, kamu dipanggil ustadz Manshur di depan rumahnya)’’serunya. ‘’Na’am, intadzir lahdhatan! (Ya, tunggu sebentar)’’sergahku.

 Aku yang baru saja akan makan siang, langsung beralih menuju ke depan rumah ustadz Manshur dan Saya disuruh duduk terlebih dahulu sesampainya di sana sembari menunggu yang lain. Aku baru tahu kalau bukan saya saja yang dipanggil. Setelah menunggu beberapa lama, datanglah secara berurutan Ulum, Humam, dan Manadhir dengan wajah penasaran. Sama seperti saya, datang dengan penasaran. Tapi hatiku tidak deg-degan setiap kali dipanggil ustadz Manshur, sekalipun Aku dipanggil karena melanggar peraturan.

Tanpa basa-basi, ustadz Manshur mulai berbicara yang isinya kurang aku suka untuk melaksanakannya. ‘’Antum jami’an faltantaqiluu ilaa hujratil juduud ba’din, idzan ‘alaikum an tudabbiruuhum lau qad jaauu jamii’an. Falidzaalika, khudz khidzaanatan faarighatan waahidatan min sakanit thullabit tahtiyyah tsumma ihmil ilaa sakanit thuulabil fauqiyyah. Wa waqtul intiqool, maa syi’tum. Almuhim, qablal juduud ya’tiyuuna ilaa hunaa, thayyib???(Kalian semua pindahlah ke kamar murid baru nanti, jadi nanti kalian harus menjadi pengurus mereka kalau mereka sudah datang ke sini semua. Maka dari itu, ambillah sebuah lemari yang kosong dari komplek bawah kemudian bawa ke komplek atas. Dan waktu pindahnya terserah kalian. Yang penting, sebelum murid baru dating ke sini, oke???)’’kata beliau dengan penuh harap. Walaupun hati ini melawan, perintah harus ustadz harus dijalankan, mau tidak mau asal masih fii siraathil mustaqim. ‘’Insyaa Allah yaa ustadz…!(Insya Allah tadz…!)’’jawab kami serempak. ‘’Khalash, A taghaddaitum jamii’an???(Sudah, apakah sudah makan siang kalian semua???)’’tanya beliau. ‘’Lamma, haadza sanataghadda tadz.(Belum tadz, ini kami akan makan.)’’jawab kami. ‘’Ayyuha, tafadldlal!(ya sudah, silahkan!)’’kata beliau. Setelah itu kami makan siang.

Pada saat itu yang galau bukan hanya aku, tapi Humam yang juga penghuni kamar 2 sama seperti aku perasaanya. Tapi aku masih tenang, karena kami sudah sepakat kalau kami akan pindah sekitar 1 bulan lagi. Tapi Allah berkehendak lain. Malamnya, Aku yang baru terlelap tidur di samping Rizqi Al-Mubarok dibangunkan oleh Humam. ‘’Abyan, qum…qum…intaqil al’aan. Amaranaa ustadz Manshur wa huwa ghaadlibun lana.’’teriaknya kepada saya (tapi pelan. Lho?). Aku yang baru setengah sadar plus kaget langsung menggulung kasurku bersama gulingku (lebih tepatnya kasur dan guling orang lain) dan berjalan keluar tergopoh-gopoh. Aku bingung. Kenapa ustadz Manshur marah kepada kami untuk pindah? Seingatku beliau berkata bahwa untuk waktu pindahnya itu terserah kami, yang penting sebelum murid baru datang ke sini. Tapi sudahlah, segera saja saya langsung pindah ke eks kamarku (kamar kelas 9) dengan sedih meninggalkan kamar baruku yang menurutku lebih nyaman tinggal di situ.

0 comments:

Post a Comment