3. PERPINDAHAN KAMAR
Ok next, perpindahan kamar untuk seluruh kelas dan
setiap kamar terdapat beberapa kelas (campur). Fortunately, saya mendapat
bagian kamar 2 yang mayoritas berpenghuni kelas 8 dan kelas 7 dengan rincian:
Kelas 7 (sekarang kelas 8) 35%, kelas 8 (sekarang kelas 9) 55%, kelas 9
(sekarang kelas 10) 8%, dan kelas 10 (kini kelas 11) 2%. Uniknya, baru beberapa
jam pindah kamar seorang adik kelasku memanggilku. ‘’Abyan, da’aka ustadz Manshur amaama baitihi. (Abyan, kamu dipanggil
ustadz Manshur di depan rumahnya)’’serunya. ‘’Na’am, intadzir lahdhatan! (Ya, tunggu sebentar)’’sergahku.
Aku
yang baru saja akan makan siang, langsung beralih menuju ke depan rumah ustadz
Manshur dan Saya disuruh duduk terlebih dahulu sesampainya di sana sembari
menunggu yang lain. Aku baru tahu kalau bukan saya saja yang dipanggil. Setelah
menunggu beberapa lama, datanglah secara berurutan Ulum, Humam, dan Manadhir
dengan wajah penasaran. Sama seperti saya, datang dengan penasaran. Tapi hatiku
tidak deg-degan setiap kali dipanggil ustadz Manshur, sekalipun Aku dipanggil
karena melanggar peraturan.
Tanpa
basa-basi, ustadz Manshur mulai berbicara yang isinya kurang aku suka untuk
melaksanakannya. ‘’Antum jami’an
faltantaqiluu ilaa hujratil juduud ba’din, idzan ‘alaikum an tudabbiruuhum lau
qad jaauu jamii’an. Falidzaalika, khudz khidzaanatan faarighatan waahidatan min
sakanit thullabit tahtiyyah tsumma ihmil ilaa sakanit thuulabil fauqiyyah. Wa
waqtul intiqool, maa syi’tum. Almuhim, qablal juduud ya’tiyuuna ilaa hunaa,
thayyib???(Kalian semua pindahlah ke kamar murid baru nanti, jadi nanti
kalian harus menjadi pengurus mereka kalau mereka sudah datang ke sini semua.
Maka dari itu, ambillah sebuah lemari yang kosong dari komplek bawah kemudian
bawa ke komplek atas. Dan waktu pindahnya terserah kalian. Yang penting,
sebelum murid baru dating ke sini, oke???)’’kata beliau dengan penuh harap.
Walaupun hati ini melawan, perintah harus ustadz harus dijalankan, mau tidak
mau asal masih fii siraathil mustaqim.
‘’Insyaa Allah yaa ustadz…!(Insya
Allah tadz…!)’’jawab kami serempak. ‘’Khalash,
A taghaddaitum jamii’an???(Sudah, apakah sudah makan siang kalian semua???)’’tanya
beliau. ‘’Lamma, haadza sanataghadda
tadz.(Belum tadz, ini kami akan makan.)’’jawab kami. ‘’Ayyuha, tafadldlal!(ya sudah, silahkan!)’’kata beliau. Setelah itu
kami makan siang.
Pada
saat itu yang galau bukan hanya aku, tapi Humam yang juga penghuni kamar 2 sama
seperti aku perasaanya. Tapi aku masih tenang, karena kami sudah sepakat kalau
kami akan pindah sekitar 1 bulan lagi. Tapi Allah berkehendak lain. Malamnya,
Aku yang baru terlelap tidur di samping Rizqi Al-Mubarok dibangunkan oleh
Humam. ‘’Abyan, qum…qum…intaqil al’aan. Amaranaa ustadz Manshur wa huwa
ghaadlibun lana.’’teriaknya kepada saya (tapi pelan. Lho?). Aku yang baru
setengah sadar plus kaget langsung menggulung kasurku bersama gulingku (lebih
tepatnya kasur dan guling orang lain) dan berjalan keluar tergopoh-gopoh. Aku
bingung. Kenapa ustadz Manshur marah kepada kami untuk pindah? Seingatku beliau
berkata bahwa untuk waktu pindahnya itu terserah kami, yang penting sebelum
murid baru datang ke sini. Tapi sudahlah, segera saja saya langsung pindah ke
eks kamarku (kamar kelas 9) dengan sedih meninggalkan kamar baruku yang
menurutku lebih nyaman tinggal di situ.
0 comments:
Post a Comment